Annyeong! Gue bawa fanfiction baru nih. TAYANG PERDANA LOH! Perdana, ya perdana. Setelah laptop gue di instal dan semua data beserta beberapa jumlah fanfiction gue hilang karena gue lupa nge-backup... Musnah sudah. Pupus sudah. Semua sudah menjadi kepingan. Heunggg T^T
Judulnya 'BUTTON'. Aneh ya? Kenapa gak sekalian aja 'TAYLOR' gitu kan-_- Maincast? Yaaa, liat aja siapa yang bakal muncul. Genre? Romance pasti. Cuap-cuap dari gue, maaf aja kalo di fanfiction kali ini banyak typo atau gelandangan yang bertebaran dimana-mana. Terus, maaf juga kalo ngebingungin. Soalnya nanti readers gue ajakin flashdisk flashback mulu nih /eaaakkk/ Yang tulisannya gue kasih kolor ijo berarti lagi flashback yaaa. Jangan lupa, baca tanggalnya juga. Jujur, fanfiction ini lahir soalnya gue dapet hidayah setelah nonton K-Drama Operational Proposal. Nah, terinspirasi dari drama itu tuh haha. Sebelum baca, mendingan baca basmallah dulu. Backsoundnya apa ya? Yaaa pokoknya sambil denger lagu-lagu Super Junior yang galau maximal aja deh. Happy reading! Ohya, jangan copy paste eaaa qaqa^^
*~~*
1993, 25
Desember
“Hweee,
eomma… Hweee, boneka ku. Hweee…” Saat itu musim salju sedang mendatangi Negara
Korea Selatan. Dari sudut taman bermain terdengar tangisan seorang anak
perempuan. Di sana juga terlihat tiga sosok anak laki-laki yang sedang
lempar-melempar boneka sambil tertawa riang di tengah-tengah tumpukkan salju.
“Yak! Apa yang kalian lakukan? Jangan
mengganggu anak perempuan. Cepat pergi!” Tiba-tiba dari jauh terdengar suara
anak laki-laki yang berlari kecil ke arah mereka. Ternyata kedatangannya
berhasil membuat tiga anak laki-laki tersebut pergi dan berhenti mengganggu
anak perempuan itu.
Anak
laki-laki itu menundukkan diri dan mengumpulkan butiran-butiran salju
disekitarnya lalu menggumpal-gumpalkan butiran salju itu menjadi satu bulatan
besar yang padat. Tiba-tiba saja ia mengarahkan gumpalan besar itu ke arah tiga
anak yang sedang berlari. “Hey! Kembalikan bonekanya, pabo.”
Bingo!
Tepat pada sasaran. Lemparannya berhasil mengenai salah satu diantara mereka.
“Yak!” Salah satu dari mereka yang
terkena lemparan itu berbalik badan. Dan berjalan ke arah orang yang
melemparnya.
“Mwo?”
“Kau,”
telunjuk kanannya tepat mengarah pada wajah di hadapannya. Tangan kirinya sibuk
mengusap-usap kepalanya yang terkena timpukkan salju. “Hweee… Appo-ya, eomma…
Hweee…” Tiba-tiba saja tangisnya pecah, kemudian ia langsung membalikkan badan
dan berlari meninggalkan taman itu.
Dua orang
temannya sudah kabur sejak tadi.
“Uljima-yo.
Ini boneka milikmu sudah kembali.”
“Gomawo-yo.”
“Cheonma.”
Tiba-tiba ia membungkukan diri 90derajat, “Lee Sungmin imnida. Kau dapat
memanggilku Sungmin. Aku selalu di ajari oleh eomma-ku agar membantu orang yang
sedang kesulitan. Bangapseumnida.”
***
“Lee Sungmin imnida…”
‘Sungmin?’
“Mahasiswa pindahan
Utrecht University, Amsterdam-Belanda.”
‘Belanda?’
Di depan podium kelas
berdiri sesosok namja yang sedang
memperkenalkan dirinya. Berbalutkan jas
almamater berwarna hitam dengan list
putih di setiap tepiannya beserta lambang Seoul Art University di sudut kiri
pada sisi depan jas almamater
tersebut. Tampak serasi dengan wajahnya yang tampan dan tergolong babyface.
“Bangapseumnida.”
Ucapnya sambil membungkuk 45derajat sebagai penutupnya.
***
“Aish, jinjja-yo?”
Tergambar jelas ekspresi kaget di wajah Henry.
Saat ini Korea Selatan
sedang di hujani salju. Terlihat sepasang namja
dan yeoja yang sedang duduk
berhadapan di sudut café, sekedar menghangatkan tubuh dengan secangkir cokelat
panas di hadapannya.
“Ne,” Jirae menghela
nafas sambil meletakkan cangkir di atas mejanya. “Awalnya, ku harap itu hanya
sekedar nama yang sama. Tapi ketika ia menyebutkan Amsterdam-Belanda—”
“His comeback.” Lanjut
Henry.
Sesaat hening. Jirae
kembali menyeruput cokelat panas di hadapannya.
“Jirae-ya, apakah kau
masih tetap menunggu cinta masa kecilmu, yang bahkan belum pernah menyatakan
perasaannya padamu itu? Sudah delapan tahun, apa kau ingin seperti ini terus?
Tidak ingin membuka hatimu untuk namja lain, eoh?”
“Nan molla.” Jirae
mengangkat wajahnya dan menatap namja
di hadapannya, “Henry-ah, gomapta. Jeongmal gomaptago.”
***
Beberapa bulan berlalu.
Musim salju kini telah beranjak ke musim semi. Satu semester sudah dilewati
bersama, namun Sungmin dan Jirae belum pernah berinteraksi semenjak keberadaan
Sungmin di Universitas Seoul.
“Jirae-ya, bagaimana
keadaanmu sekarang?” Sungmin mencoba memecahkan keheningan di antara mereka
berdua, “Ah, sepertinya baik-baik saja, eoh?”
Jirae-ya?
Cara memanggilnya, masih sama seperti dulu. “Tidak begitu
baik.” Jawab Jirae singkat.
Saat ini mereka sedang
berada di café Mouse and Rabit. Dekorasi yang klasik terlihat unik dan antik.
Café tersebut tidak pernah sepi dari pengunjung. Tapi hari ini sedang tidak
begitu banyak yang berkunjung kesana. Maka dari itu mereka memilih tempat duduk
yang berada di sudut ruangan. Sisi dindingnya terbuat dari kaca, sehingga
pengunjung dapat berbincang-bincang sambil menikmati pemandangan di luar.
Keduanya kembali larut
dalam keheningan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak bertemu dan
berkomunikasi selama 8tahun, sangat asing rasanya.
“Mengapa tiba-tiba kau
muncul lagi?” Tanya Jirae pelan, namun masih dapat di dengar oleh Sungmin.
Tatapannya lurus melihat pemandangan di luar.
Lain dengan Jirae yang
menatap ke luar. Sungmin justru mengarahkan pandangannya ke arah Jirae. Di
tatapnya lurus-lurus bola mata berwarna cokelat pekat itu. Masih sama seperti dulu, saat aku mengenalmu. “Apa kau tidak
membaca suratku waktu itu? Aku menitipkan surat untukmu sebelum a—”
“Sebelum kau
meninggalkanku, eoh?”
“Aku tidak
meninggalkanmu,” Sungmin mengambil cangkir berisi papermint di atas meja kayu berwarna putih yang bergaya minimalis
itu, kemudian sedikit meminum isinya. “Bukankah kau yang mengabaikanku? Mengapa
saat itu kau tidak datang ke taman bermain?”
“Aku tidak
mengabaikanmu,” sejenak Jirae menghirup udara segar. Mencoba merefresh kembali ingatannya. “Saat itu
sudah berapa tahun kita berteman? Duabelas tahun, apa itu waktu yang sebentar
untukmu? Mengapa kau tidak beritahu aku satu bulan lebih dulu sebelum kau
terbang ke Belanda? Apa itu sulit?”
“Maksudmu?”
***
2005, 18
November
Suasana
koridor lantai 1 tidak begitu ramai. Jam istirahat berbunyi, semua siswa-siswi
meninggalkan kelas. Shin Jirae—siswi yang terlihat selalu bersama Sungmin, kali
ini terlihat bingung karena temannya tidak masuk. Biasanya setiap jam istirahat
ia dan Sungmin langsung menuju ruang musik yang berada di lantai 3.
“…..
Sebagian besar saham berada di Amsterdam. Maka dari itu, saya ingin mengajukan
permohonan surat izin pindah sekolah untuk Lee Sungmin.”
“Sangat
di sayangkan. Namun, kami akan membantu surat-surat perpindahan…..”
‘Belanda?’
‘Sungmin?’
***
Kali ini yeoja berambut sebahu tersebut meneguk strawberry milkshake miliknya. “Ketika
ingin menuju lantai tiga, aku tidak sengaja mendengarnya.”
“Lalu, apa yang
membuatmu tidak datang ke taman itu?”
“Aku hanya tidak ingin
bertemu denganmu dan melihat wajahmu.”
“Eoh, alasan macam apa itu?” Sungmin
menyenderkan tubuhnya pada badan kursi. “Seharusnya kalau kau sudah mengetahui
akan prihal keberangkatanku ke Belanda, kau datang ke taman itu dan mencegahku
untuk tidak pergi bersama appa dan eomma.”
Hening. Lima menit
mereka kembali dalam keheningan. Keduanya kali ini sama-sama memilih menatap pemandangan
di luar.
Jirae menggigit bibir
bawahnya, ia dapat sedikit menghilangi rasa gugupnya. Kemudian bergumam pelan,
“Ani. Dengan kepergianmu, aku dapat mengatur perasaanku.” Setelah berkata
demikian, Jirae bangkit dari kursi dan mengambil tasnya, lalu membungkuk
15derajat. Kemudian ia segera berjalan ke arah pintu bercat putih dengan
ukiran-ukiran kuno yang terlihat rumit di tiga sisinya.
Mwo?
Tenggorokan Sungmin terasa tercekat. Ia mengetahui kepergian Jirae, namun tubuhnya
tidak segera bangkit untuk mencegah yeoja
itu. Justru ia membiarkannya pergi, dan ia sendiri sibuk dengan pikirannya.
***
Henry berjalan ke arah
balkon sambil membawa selembar jacket
baseball berwarna merah. Di balkon
terlihat Sungmin yang sedang menikmati pemandangan kolam renang yang berada di
bawahnya. Malam itu, udara tidak terlalu dingin karena sudah memasuki musim
semi.
“Kenapa kau tidak
mencegahnya pergi? Kenapa justru kau membiarkannya pergi? Apa kau ingin
kehilangannya lagi? Bukankah kau menyukainya? Mengapa tidak kau katakan saja? Bagaimana
jika dia sudah lelah menunggumu? Apa kau
tidak berani mengungkapkannya?”
Hening.
“Kenapa kau tega
membiarkannya terus seperti ini, hyung?”
Tanya Henry berturut-turut.
“Aku terlalu takut.”
“Mwo?”
“Aku takut melukai
perasaannya. Aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk mengungkapkan
perasaanku. Aku terlalu pengecut.”
“Right! Kau memang
pengecut untuk ukuran seorang pria, hyung.”
Henry berjalan mendekati kursi yang memang di sediakan di balkon tersebut dan
menaruh jacket yang berada di
tangannya ke atas meja. “Delapan tahun kau meninggalkannya dan menitipkannya
padaku. Delapan tahun dia menjadikanmu alasan tidak ingin membuka hatinya untuk
pria lain. Dan tiga belas tahun dia menunggu kau membalas perasaannya. Se—”
“Mwo?” Sungmin memotong
pembicaraan Henry, kemudian membalikkan badan dan menatap hoobae Karate-nya itu. “Tiga belas tahun?”
***
1995, 14 April
Menyambut
datangnya musim gugur, Seoul Elementary School menyelenggarakan pentas drama.
Sungmin dan Jirae ikut pementasan drama tersebut.
“Kajja
modu eolin-i, kita mulai latihannya. Semua yang berada di luar segera masuk,
dan jangan lupa ganti sepatu latihan kalian. Arra-yo?” Muncul Kang seonsaengnim—selaku pelatih drama
anak-anak di sekolah tersebut—dari dalam ruang latihan.
Lalu
anak-anak menggemaskan itu pun masuk, mengikuti perintah gurunya.
“Na gudu,”
Jirae sibuk mencari sepatu latihannya di dalam ransel berwarna pink-nya. “Eodieoseo, eoh? Apa eomma lupa memasukkannya? Ah,
tidak mungkin.”
“Ige.”
Tiba-tiba Sungmin datang dan membungkuk untuk meletakkan sepatu latihan
miliknya. Lalu ia bergegas masuk ke dalam.
Jirae
terdiam memandangi sepatu di bawahnya. Di sana tertulis ‘Sungmin-nie’. Senyuman
terkembang di sudut bibirnya, kemudian ia langsung memakai sepatu itu.
Ketika
semua murid sudah berkumpul di dalam kelas, dan Kang seonsaengnim memeriksa semua kelengkapan murid-muridnya, tiba-tiba
Sungmin di perintahkan untuk maju ke depan kelas. “Yak! Namja tampan,” Kang seonsaengnim sedikit membungkuk,
menyetarakan tingginya dengan anak kecil di depannya. “Mengapa kau tidak
menggunakan sepatu latihanmu? Apa yang membuatmu lupa membawanya, eoh?”
“Hehehe,”
Sungmin memperlihatkan deretan gigi kecilnya ketika tangan Kang seonsaengnim menjiwir pelan telinga
kirinya. “Mianhae-yo, seonsaengnim.”
Jirae
yang melihat itu, hanya mengulum senyum sambil melihat sepatu yang sedang di
kenakannya. Min-ah, gomawo.
***
“Tepatnya hari itu,
ketika kau meminjamkan sepatumu pada Jirae, dia berpikir bahwa kau adalah
Pangeran Penyelamatnya seperti di dongeng-dongeng yang saat itu ia baca.”
“Lucu sekali anak itu.”
Sungmin tertawa kecil, membiarkan ingatannya kembali ke tahun 1995.
“Lucu memang,” tidak
menutup kemungkinan, Henry pun ikut tertawa kecil. “Ia sangat senang dapat
mengenal dan berteman denganmu. Apalagi, saat ia mengetahui bahwa dirinya satu
kelas lagi denganmu di Junior High School.”
Sungmin kembali
terdiam. Menatap kosong, dan sesekali terdengar hembusan nafasnya yang
terdengar cukup berat.
Henry meminum coffelate yang sedari tadi berada di
genggamannya. Sesaat setelah meminumnya, Henry meletakkan cangkir tersebut dan
teringat akan jacket yang tadi ia
taruh di atas meja. “Ah ya, ige.”
“Ige mwo-ya?” Sosok namja di hadapannya terlihat bingung akan
benda yang di sodorkan oleh hoobae-nya
itu.
“Tsk! Apa kau tidak ingat? Ini jaket baseball-mu yang kau biarkan
tertinggal di loker saat usai latihan baseball, hyung.”
“Ya, aku ingat.
Keundae,” Sungmin membuka lipatan itu dan menemukan bahwa semua kancing
berjumlah lengkap. “Kenapa jaket ini bisa ada di tanganmu? Dan, kenapa kancing
ini bisa terpasang di sini? Seingatku, terakhir kali aku menggunakannya,
kancing ini hilang.” Ia menunjuk kancing nomor dua.
“Ah, itu…..”
***
2009, 1 Januari
Prepepepettt~
“Woaaa!
Happy New Year’s, Jirae-ya.” Henry datang dengan meniup-niupkan terompet yang
di pegangnya.
“Yak! Henry-ah.”
“Maaf
sudah mengagetkanmu,” namja itu masih
tertawa sambil memegangi perutnya.
“Berhenti
tertawa. Apa kau tidak sadar, ketika kau tertawa matamu hilang dan alismu
berubah menjadi empat garis. Dan hal itu membuatku ingin segera lari dari
hadapanmu, bocah tengik!” Umpat Jirae.
Setelah
tawanya mereda, kemudian ia mengambil posisi duduk di samping Jirae. “Sudah
berapa kali kau mengatakan hal itu padaku? Tapi lihatlah, perkataanmu tidak
membuat ketampananku luntur. Jadi berhentilah mengatakan itu, arra?”
Yeoja yang di ajak bicara tidak
menggubris pernyataan namja di
sampingnya. Ia kembali melanjutkan aktivitas menjahitnya.
Merasa
pernyataannya tidak mendapatkan respone, Henry pun memperhatikan gerakan tangan
Jirae yang menari-nari di antara benang dan jarum. “Untuk apa kau menjahit
kancing itu? Lagipula, bukan kah jaket itu milik sunbae-nim Sungmin?”
Jirae
masih asik dengan gerakan jarinya. Lima menit berlalu, “Jjaaa! Kancingnya sudah lengkap.” Yeoja itu tersenyum dan memegangi kancing nomor dua yang barusan ia
jahit. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum ke arah namja di sampingnya.
“Wae?”
Tanya Henry yang heran, karena tiba-tiba saja Jirae menatapnya dengan senyuman
seperti itu.
“Sebenarnya
aku ingin sekali memiliki kancing nomor dua ini. Tapi, ku rasa ini bukanlah
milikku.”
“Aigoo
Jirae-ya, lucu sekali kau. Kancing seperti itu saja kau ingin memilikinya?
Memangnya kau tidak memiliki kancing di semua baju milikmu? Lagipula, kenapa
harus kancing nomor dua, eoh?” Ledek
Henry yang di susul cengiran lebar di bibir mungilnya.
“Karena,
kancing nomor dua-lah yang letaknya paling dekat dengan hati.” Jirae mengurai
senyum di sudut bibirnya. “Ku titipkan jaket ini padamu. Tolong berikan pada
Sungmin jika kau bertemu dengannya.”
Henry sibuk
memikirkan kalimat yeoja itu, ia
langsung menghitung dan melihat posisi kancing di kemeja yang ia pakai,
kemudian tersenyum lebar. “Ji—eoh?
Pergi kemana dia?” Ah ya, kau benar.
***
Sungmin tertegun.
Beberapa menit kemudian ia bangkit dari kursi itu dan bergegas pergi. “Gomawo,
Henry-ya.”
Henry tampak bingung
atas perubahan raut wajah sunbae-nya
itu. “Apa yang terjadi dengannya? Seperti mendapat pencerahan dari Dewa.”
Di dalam mobil, selama
perjalanan Sungmin mencoba mengingat perkataan Jirae delapan tahun lalu, saat
mereka memasuki bangku Junior High School.
‘Min-ah,
bolehkah aku meminta sebuah permintaan?’
‘Katakan
saja.’
‘Tiga
tahun yang akan datang, ketika hari kelulusan kita di bangku sekolah menengah
pertama ini, aku ingin kau memberikanku kancing nomor dua yang menempel pada
jas almamater-mu itu.’
‘Mwo?
Hanya kancingnya saja, eoh? Aneh sekali kau. Tenang saja, akan ku berikan
untukmu. Bahkan beserta jas almamater ini, untukmu.’
‘Min-ah,
aku serius. Aku tidak menginginkan jas-mu. Aku hanya menginginkan kancing ini.’
Saat itu Jirae
meletakkan telunjuknya tepat pada kancing nomor dua yang menempel pada jas almamater milik Sungmin.
“Apakah benar, kancing
yang dia maksud adalah—”
“Aish, pabo-ya!”
Sungmin meruntuki dirinya sendiri.
***
2014, 31 Mei
Pesta kelulusan
berlangsung di Seoul Art University. Di aula yang sangat besar itu terlihat
seperti lautan hitam. Ya, semua mahasiswa dan mahasiswi yang merayakannya
menggunakan jas almamater ketentuan
kampus besar itu. Dari semua fakultas, terkumpul menjadi satu.
Sesudah upacara
pelepasan, saatnya free time untuk
mereka semua. Sebagian besar dari mereka memilih mengabadikan beberapa gambar
di setiap sisi kampus tersebut.
Lain hal-nya dengan Shin Jirae. Gadis itu lebih memilih mengunjungi gedung vakultas seni. Ia membawa
tubuhnya untuk memasuki ruang musik. Tiba-tiba kakinya terhenti di ambang
pintu, karena mendengar alunan tuts
piano. Dua menit kemudian, ia mendorong knop
pintu tersebut dan mendapatkan namja di
balik piano besar yang berjarak 3 meter dari posisinya ia berdiri.
Perlahan tanpa sadar,
ia melangkahkan kakinya mendekati piano besar yang antik tersebut dan duduk di
dekat namja itu, kemudian membiarkan
jari-jari lentiknya ikut menari-nari di atas tuts yang berada sejajar dengan perutnya.
Tiba-tiba, tidak ada
suara. Nada-nada dari tuts pianonya
hilang, tidak terdengar lagi.
Namja
yang tadi memainkan piano itu pun tersenyum. “Sudah ku duga, kau akan ke tempat
ini.”
Seakan sadar dari tidurnya, Jirae langsung menoleh ke sisi samping. “Min-ah,”
“Coba sebut lagi
namaku,”
“Min-ah,”
“Ternyata nada itu
tidak berubah dari dulu,” masih dengan posisi duduk bersisian di depan piano,
Sungmin mengacak pelan rambut Jirae. “Apa kau tahu, aku rindu akan nada
panggilanmu yang seperti itu.”
Hening.
“Min-ah, apa yang kau
lakukan disini?”
“Yak! Ini tempat umum, siapa saja boleh berkunjung ke sini.”
Mereka sama-sama
menggunakan jas almamater. Jirae
kembali menekan tuts piano di
depannya dan memejamkan kedua bola matanya itu. Sedangkan Sungmin, ia tidak
melepaskan pandangannya dari arah yeoja
di sampingnya.
Tiba-tiba Sungmin
teringat akan tujuan awalnya. Ia merogoh sakunya, “Ini, ku berikan untukmu.”
Merasa dirinya di ajak
bicara, ia membuka kedua matanya dan menghentikan aktivitas jari-jarinya di
atas tuts piano. Segenggam tangan
menyerahkan sebuah kancing berwarna putih. Jirae tertegun menatap kancing itu.
Kemudian ia melayangkan tatapannya ke jas
almamater yang di kenakan oleh Sungmin, dan mendapatkan kancing nomor dua tidak
terdapat disana. “Kau—”
“Mianhae, aku baru
dapat memberikan kancing ini padamu.”
Jirae mengambil kancing
tersebut. Tergambar jelas cetakkan senyum lebar di kedua sudut bibirnya. “Min-ah,
kau masih mengingatnya?”
“Shin Jirae-ya, aku
bukan pria yang pandai dalam berkata-kata. Jadi, kau harus mau menerimaku
sebagai namjachingu-mu. Aku tidak
peduli apapun alasannya. Arra?” Sungmin mengeluarkan pout aegyo andalannya, yang beberapa tahun ini tidak dapat dilihat
oleh Jirae.
Belum sempat Jirae
menjawab, sebuah ciuman sudah mendarat di bibirnya.
Chu~
“Ini adalah first kiss untukku dan untukmu,”
Chu~
“Itu permintaan maafku karena sudah membiarkanmu menungguku tigabelas tahun sangat lama,”
Chu~
“Dan barusan adalah hukuman untukmu karena sudah mencuri first kiss-ku,” ketika
Sungmin ingin mendekatkan wajahnya lagi…
Plak~
“Yak! Lee Sungmin, michoseo!
Seenaknya kau bicara seperti itu. Kau yang telah mencuri first kiss-ku, bodoh!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar