WARNING!

DON'T JUDGE MY POST. BECAUSE, MY OPINION: "I WILL WRITE WHAT I FEEL."

Selasa, 06 Agustus 2013

FF / BUTTON / Oneshoot

Annyeong! Gue bawa fanfiction baru nih. TAYANG PERDANA LOH! Perdana, ya perdana. Setelah laptop gue di instal dan semua data beserta beberapa jumlah fanfiction gue hilang karena gue lupa nge-backup... Musnah sudah. Pupus sudah. Semua sudah menjadi kepingan. Heunggg T^T

Judulnya 'BUTTON'. Aneh ya? Kenapa gak sekalian aja 'TAYLOR' gitu kan-_- Maincast? Yaaa, liat aja siapa yang bakal muncul. Genre? Romance pasti. Cuap-cuap dari gue, maaf aja kalo di fanfiction kali ini banyak typo atau gelandangan yang bertebaran dimana-mana. Terus, maaf juga kalo ngebingungin. Soalnya nanti readers gue ajakin flashdisk flashback mulu nih /eaaakkk/ Yang tulisannya gue kasih kolor ijo berarti lagi flashback yaaa. Jangan lupa, baca tanggalnya juga. Jujur, fanfiction ini lahir soalnya gue dapet hidayah setelah nonton K-Drama Operational Proposal. Nah, terinspirasi dari drama itu tuh haha. Sebelum baca, mendingan baca basmallah dulu. Backsoundnya apa ya? Yaaa pokoknya sambil denger lagu-lagu Super Junior yang galau maximal aja deh. Happy reading! Ohya, jangan copy paste eaaa qaqa^^

*~~*


1993, 25 Desember

“Hweee, eomma… Hweee, boneka ku. Hweee…” Saat itu musim salju sedang mendatangi Negara Korea Selatan. Dari sudut taman bermain terdengar tangisan seorang anak perempuan. Di sana juga terlihat tiga sosok anak laki-laki yang sedang lempar-melempar boneka sambil tertawa riang di tengah-tengah tumpukkan salju.

Yak! Apa yang kalian lakukan? Jangan mengganggu anak perempuan. Cepat pergi!” Tiba-tiba dari jauh terdengar suara anak laki-laki yang berlari kecil ke arah mereka. Ternyata kedatangannya berhasil membuat tiga anak laki-laki tersebut pergi dan berhenti mengganggu anak perempuan itu.

Anak laki-laki itu menundukkan diri dan mengumpulkan butiran-butiran salju disekitarnya lalu menggumpal-gumpalkan butiran salju itu menjadi satu bulatan besar yang padat. Tiba-tiba saja ia mengarahkan gumpalan besar itu ke arah tiga anak yang sedang berlari. “Hey! Kembalikan bonekanya, pabo.”

Bingo! Tepat pada sasaran. Lemparannya berhasil mengenai salah satu diantara mereka.

Yak!” Salah satu dari mereka yang terkena lemparan itu berbalik badan. Dan berjalan ke arah orang yang melemparnya.

“Mwo?

“Kau,” telunjuk kanannya tepat mengarah pada wajah di hadapannya. Tangan kirinya sibuk mengusap-usap kepalanya yang terkena timpukkan salju. “Hweee… Appo-ya, eomma… Hweee…” Tiba-tiba saja tangisnya pecah, kemudian ia langsung membalikkan badan dan berlari meninggalkan taman itu.

Dua orang temannya sudah kabur sejak tadi.

“Uljima-yo. Ini boneka milikmu sudah kembali.”

“Gomawo-yo.”

“Cheonma.” Tiba-tiba ia membungkukan diri 90derajat, “Lee Sungmin imnida. Kau dapat memanggilku Sungmin. Aku selalu di ajari oleh eomma-ku agar membantu orang yang sedang kesulitan. Bangapseumnida.”

***

“Lee Sungmin imnida…”

‘Sungmin?’

“Mahasiswa pindahan Utrecht University, Amsterdam-Belanda.”

‘Belanda?’

Di depan podium kelas berdiri sesosok namja yang sedang memperkenalkan dirinya. Berbalutkan jas almamater berwarna hitam dengan list putih di setiap tepiannya beserta lambang Seoul Art University di sudut kiri pada sisi depan jas almamater tersebut. Tampak serasi dengan wajahnya yang tampan dan tergolong babyface.

“Bangapseumnida.” Ucapnya sambil membungkuk 45derajat sebagai penutupnya.

***

“Aish, jinjja-yo?” Tergambar jelas ekspresi kaget di wajah Henry.

Saat ini Korea Selatan sedang di hujani salju. Terlihat sepasang namja dan yeoja yang sedang duduk berhadapan di sudut café, sekedar menghangatkan tubuh dengan secangkir cokelat panas di hadapannya.

“Ne,” Jirae menghela nafas sambil meletakkan cangkir di atas mejanya. “Awalnya, ku harap itu hanya sekedar nama yang sama. Tapi ketika ia menyebutkan Amsterdam-Belanda—”

“His comeback.” Lanjut Henry.

Sesaat hening. Jirae kembali menyeruput cokelat panas di hadapannya.

“Jirae-ya, apakah kau masih tetap menunggu cinta masa kecilmu, yang bahkan belum pernah menyatakan perasaannya padamu itu? Sudah delapan tahun, apa kau ingin seperti ini terus? Tidak ingin membuka hatimu untuk namja lain, eoh?”

“Nan molla.” Jirae mengangkat wajahnya dan menatap namja di hadapannya, “Henry-ah, gomapta. Jeongmal gomaptago.”

***

Beberapa bulan berlalu. Musim salju kini telah beranjak ke musim semi. Satu semester sudah dilewati bersama, namun Sungmin dan Jirae belum pernah berinteraksi semenjak keberadaan Sungmin di Universitas Seoul.

“Jirae-ya, bagaimana keadaanmu sekarang?” Sungmin mencoba memecahkan keheningan di antara mereka berdua, “Ah, sepertinya baik-baik saja, eoh?”

Jirae-ya? Cara memanggilnya, masih sama seperti dulu. “Tidak begitu baik.” Jawab Jirae singkat.

Saat ini mereka sedang berada di café Mouse and Rabit. Dekorasi yang klasik terlihat unik dan antik. Café tersebut tidak pernah sepi dari pengunjung. Tapi hari ini sedang tidak begitu banyak yang berkunjung kesana. Maka dari itu mereka memilih tempat duduk yang berada di sudut ruangan. Sisi dindingnya terbuat dari kaca, sehingga pengunjung dapat berbincang-bincang sambil menikmati pemandangan di luar.

Keduanya kembali larut dalam keheningan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak bertemu dan berkomunikasi selama 8tahun, sangat asing rasanya.

“Mengapa tiba-tiba kau muncul lagi?” Tanya Jirae pelan, namun masih dapat di dengar oleh Sungmin. Tatapannya lurus melihat pemandangan di luar.

Lain dengan Jirae yang menatap ke luar. Sungmin justru mengarahkan pandangannya ke arah Jirae. Di tatapnya lurus-lurus bola mata berwarna cokelat pekat itu. Masih sama seperti dulu, saat aku mengenalmu. “Apa kau tidak membaca suratku waktu itu? Aku menitipkan surat untukmu sebelum a—”

“Sebelum kau meninggalkanku, eoh?”

“Aku tidak meninggalkanmu,” Sungmin mengambil cangkir berisi papermint di atas meja kayu berwarna putih yang bergaya minimalis itu, kemudian sedikit meminum isinya. “Bukankah kau yang mengabaikanku? Mengapa saat itu kau tidak datang ke taman bermain?”

“Aku tidak mengabaikanmu,” sejenak Jirae menghirup udara segar. Mencoba merefresh kembali ingatannya. “Saat itu sudah berapa tahun kita berteman? Duabelas tahun, apa itu waktu yang sebentar untukmu? Mengapa kau tidak beritahu aku satu bulan lebih dulu sebelum kau terbang ke Belanda? Apa itu sulit?”

“Maksudmu?”

***

2005, 18 November

Suasana koridor lantai 1 tidak begitu ramai. Jam istirahat berbunyi, semua siswa-siswi meninggalkan kelas. Shin Jirae—siswi yang terlihat selalu bersama Sungmin, kali ini terlihat bingung karena temannya tidak masuk. Biasanya setiap jam istirahat ia dan Sungmin langsung menuju ruang musik yang berada di lantai 3.

“….. Sebagian besar saham berada di Amsterdam. Maka dari itu, saya ingin mengajukan permohonan surat izin pindah sekolah untuk Lee Sungmin.”

“Sangat di sayangkan. Namun, kami akan membantu surat-surat perpindahan…..”

‘Belanda?’

‘Sungmin?’

***

Kali ini yeoja berambut sebahu tersebut meneguk strawberry milkshake miliknya. “Ketika ingin menuju lantai tiga, aku tidak sengaja mendengarnya.”

“Lalu, apa yang membuatmu tidak datang ke taman itu?”

“Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu dan melihat wajahmu.”

Eoh, alasan macam apa itu?”  Sungmin menyenderkan tubuhnya pada badan kursi. “Seharusnya kalau kau sudah mengetahui akan prihal keberangkatanku ke Belanda, kau datang ke taman itu dan mencegahku untuk tidak pergi bersama appa dan eomma.”

Hening. Lima menit mereka kembali dalam keheningan. Keduanya kali ini sama-sama memilih menatap pemandangan di luar.

Jirae menggigit bibir bawahnya, ia dapat sedikit menghilangi rasa gugupnya. Kemudian bergumam pelan, “Ani. Dengan kepergianmu, aku dapat mengatur perasaanku.” Setelah berkata demikian, Jirae bangkit dari kursi dan mengambil tasnya, lalu membungkuk 15derajat. Kemudian ia segera berjalan ke arah pintu bercat putih dengan ukiran-ukiran kuno yang terlihat rumit di tiga sisinya.

Mwo? Tenggorokan Sungmin terasa tercekat. Ia mengetahui kepergian Jirae, namun tubuhnya tidak segera bangkit untuk mencegah yeoja itu. Justru ia membiarkannya pergi, dan ia sendiri sibuk dengan pikirannya.

***

Henry berjalan ke arah balkon sambil membawa selembar jacket baseball berwarna merah. Di balkon terlihat Sungmin yang sedang menikmati pemandangan kolam renang yang berada di bawahnya. Malam itu, udara tidak terlalu dingin karena sudah memasuki musim semi.

“Kenapa kau tidak mencegahnya pergi? Kenapa justru kau membiarkannya pergi? Apa kau ingin kehilangannya lagi? Bukankah kau menyukainya? Mengapa tidak kau katakan saja? Bagaimana jika dia sudah lelah menunggumu?  Apa kau tidak berani mengungkapkannya?”

Hening.

“Kenapa kau tega membiarkannya terus seperti ini, hyung?” Tanya Henry berturut-turut.

“Aku terlalu takut.”

“Mwo?”

“Aku takut melukai perasaannya. Aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaanku. Aku terlalu pengecut.”

“Right! Kau memang pengecut untuk ukuran seorang pria, hyung.” Henry berjalan mendekati kursi yang memang di sediakan di balkon tersebut dan menaruh jacket yang berada di tangannya ke atas meja. “Delapan tahun kau meninggalkannya dan menitipkannya padaku. Delapan tahun dia menjadikanmu alasan tidak ingin membuka hatinya untuk pria lain. Dan tiga belas tahun dia menunggu kau membalas perasaannya. Se—”

“Mwo?” Sungmin memotong pembicaraan Henry, kemudian membalikkan badan dan menatap hoobae Karate-nya itu. “Tiga belas tahun?”

***

1995, 14 April

Menyambut datangnya musim gugur, Seoul Elementary School menyelenggarakan pentas drama. Sungmin dan Jirae ikut pementasan drama tersebut.

“Kajja modu eolin-i, kita mulai latihannya. Semua yang berada di luar segera masuk, dan jangan lupa ganti sepatu latihan kalian. Arra-yo?” Muncul Kang seonsaengnim—selaku pelatih drama anak-anak di sekolah tersebut—dari dalam ruang latihan.

Lalu anak-anak menggemaskan itu pun masuk, mengikuti perintah gurunya.

“Na gudu,” Jirae sibuk mencari sepatu latihannya di dalam ransel berwarna pink-nya. “Eodieoseo, eoh? Apa eomma lupa memasukkannya? Ah, tidak mungkin.”

“Ige.” Tiba-tiba Sungmin datang dan membungkuk untuk meletakkan sepatu latihan miliknya. Lalu ia bergegas masuk ke dalam.

Jirae terdiam memandangi sepatu di bawahnya. Di sana tertulis ‘Sungmin-nie’. Senyuman terkembang di sudut bibirnya, kemudian ia langsung memakai sepatu itu.

Ketika semua murid sudah berkumpul di dalam kelas, dan Kang seonsaengnim memeriksa semua kelengkapan murid-muridnya, tiba-tiba Sungmin di perintahkan untuk maju ke depan kelas. Yak! Namja tampan,” Kang seonsaengnim sedikit membungkuk, menyetarakan tingginya dengan anak kecil di depannya. “Mengapa kau tidak menggunakan sepatu latihanmu? Apa yang membuatmu lupa membawanya, eoh?”

“Hehehe,” Sungmin memperlihatkan deretan gigi kecilnya ketika tangan Kang seonsaengnim menjiwir pelan telinga kirinya. “Mianhae-yo, seonsaengnim.”

Jirae yang melihat itu, hanya mengulum senyum sambil melihat sepatu yang sedang di kenakannya. Min-ah, gomawo.

***

“Tepatnya hari itu, ketika kau meminjamkan sepatumu pada Jirae, dia berpikir bahwa kau adalah Pangeran Penyelamatnya seperti di dongeng-dongeng yang saat itu ia baca.”

“Lucu sekali anak itu.” Sungmin tertawa kecil, membiarkan ingatannya kembali ke tahun 1995.

“Lucu memang,” tidak menutup kemungkinan, Henry pun ikut tertawa kecil. “Ia sangat senang dapat mengenal dan berteman denganmu. Apalagi, saat ia mengetahui bahwa dirinya satu kelas lagi denganmu di Junior High School.”

Sungmin kembali terdiam. Menatap kosong, dan sesekali terdengar hembusan nafasnya yang terdengar cukup berat.

Henry meminum coffelate yang sedari tadi berada di genggamannya. Sesaat setelah meminumnya, Henry meletakkan cangkir tersebut dan teringat akan jacket yang tadi ia taruh di atas meja. “Ah ya, ige.”

“Ige mwo-ya?” Sosok namja di hadapannya terlihat bingung akan benda yang di sodorkan oleh hoobae-nya itu.

Tsk! Apa kau tidak ingat? Ini jaket baseball-mu yang kau biarkan tertinggal di loker saat usai latihan baseball, hyung.”

“Ya, aku ingat. Keundae,” Sungmin membuka lipatan itu dan menemukan bahwa semua kancing berjumlah lengkap. “Kenapa jaket ini bisa ada di tanganmu? Dan, kenapa kancing ini bisa terpasang di sini? Seingatku, terakhir kali aku menggunakannya, kancing ini hilang.” Ia menunjuk kancing nomor dua.

“Ah, itu…..”

***

2009, 1 Januari

Prepepepettt~

“Woaaa! Happy New Year’s, Jirae-ya.” Henry datang dengan meniup-niupkan terompet yang di pegangnya.

Yak! Henry-ah.”

“Maaf sudah mengagetkanmu,” namja itu masih tertawa sambil memegangi perutnya.

“Berhenti tertawa. Apa kau tidak sadar, ketika kau tertawa matamu hilang dan alismu berubah menjadi empat garis. Dan hal itu membuatku ingin segera lari dari hadapanmu, bocah tengik!” Umpat Jirae.

Setelah tawanya mereda, kemudian ia mengambil posisi duduk di samping Jirae. “Sudah berapa kali kau mengatakan hal itu padaku? Tapi lihatlah, perkataanmu tidak membuat ketampananku luntur. Jadi berhentilah mengatakan itu, arra?”

Yeoja yang di ajak bicara tidak menggubris pernyataan namja di sampingnya. Ia kembali melanjutkan aktivitas menjahitnya.

Merasa pernyataannya tidak mendapatkan respone, Henry pun memperhatikan gerakan tangan Jirae yang menari-nari di antara benang dan jarum. “Untuk apa kau menjahit kancing itu? Lagipula, bukan kah jaket itu milik sunbae-nim Sungmin?”

Jirae masih asik dengan gerakan jarinya. Lima menit berlalu, “Jjaaa! Kancingnya sudah lengkap.” Yeoja itu tersenyum dan memegangi kancing nomor dua yang barusan ia jahit. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum ke arah namja di sampingnya.

“Wae?” Tanya Henry yang heran, karena tiba-tiba saja Jirae menatapnya dengan senyuman seperti itu.

“Sebenarnya aku ingin sekali memiliki kancing nomor dua ini. Tapi, ku rasa ini bukanlah milikku.”

“Aigoo Jirae-ya, lucu sekali kau. Kancing seperti itu saja kau ingin memilikinya? Memangnya kau tidak memiliki kancing di semua baju milikmu? Lagipula, kenapa harus kancing nomor dua, eoh?” Ledek Henry yang di susul cengiran lebar di bibir mungilnya.

“Karena, kancing nomor dua-lah yang letaknya paling dekat dengan hati.” Jirae mengurai senyum di sudut bibirnya. “Ku titipkan jaket ini padamu. Tolong berikan pada Sungmin jika kau bertemu dengannya.”

Henry sibuk memikirkan kalimat yeoja itu, ia langsung menghitung dan melihat posisi kancing di kemeja yang ia pakai, kemudian tersenyum lebar. “Ji—eoh? Pergi kemana dia?” Ah ya, kau benar.

***

Sungmin tertegun. Beberapa menit kemudian ia bangkit dari kursi itu dan bergegas pergi. “Gomawo, Henry-ya.”

Henry tampak bingung atas perubahan raut wajah sunbae-nya itu. “Apa yang terjadi dengannya? Seperti mendapat pencerahan dari Dewa.”

Di dalam mobil, selama perjalanan Sungmin mencoba mengingat perkataan Jirae delapan tahun lalu, saat mereka memasuki bangku Junior High School.

‘Min-ah, bolehkah aku meminta sebuah permintaan?’

‘Katakan saja.’

‘Tiga tahun yang akan datang, ketika hari kelulusan kita di bangku sekolah menengah pertama ini, aku ingin kau memberikanku kancing nomor dua yang menempel pada jas almamater-mu itu.’

‘Mwo? Hanya kancingnya saja, eoh? Aneh sekali kau. Tenang saja, akan ku berikan untukmu. Bahkan beserta jas almamater ini, untukmu.’

‘Min-ah, aku serius. Aku tidak menginginkan jas-mu. Aku hanya menginginkan kancing ini.’

Saat itu Jirae meletakkan telunjuknya tepat pada kancing nomor dua yang menempel pada jas almamater milik Sungmin.

“Apakah benar, kancing yang dia maksud adalah—”

“Aish, pabo-ya!” Sungmin meruntuki dirinya sendiri.

***

2014, 31 Mei

Pesta kelulusan berlangsung di Seoul Art University. Di aula yang sangat besar itu terlihat seperti lautan hitam. Ya, semua mahasiswa dan mahasiswi yang merayakannya menggunakan jas almamater ketentuan kampus besar itu. Dari semua fakultas, terkumpul menjadi satu.

Sesudah upacara pelepasan, saatnya free time untuk mereka semua. Sebagian besar dari mereka memilih mengabadikan beberapa gambar di setiap sisi kampus tersebut.

Lain hal-nya dengan Shin Jirae. Gadis itu lebih memilih mengunjungi gedung vakultas seni. Ia membawa tubuhnya untuk memasuki ruang musik. Tiba-tiba kakinya terhenti di ambang pintu, karena mendengar alunan tuts piano. Dua menit kemudian, ia mendorong knop pintu tersebut dan mendapatkan namja di balik piano besar yang berjarak 3 meter dari posisinya ia berdiri.

Perlahan tanpa sadar, ia melangkahkan kakinya mendekati piano besar yang antik tersebut dan duduk di dekat namja itu, kemudian membiarkan jari-jari lentiknya ikut menari-nari di atas tuts yang berada sejajar dengan perutnya.

Tiba-tiba, tidak ada suara. Nada-nada dari tuts pianonya hilang, tidak terdengar lagi.

Namja yang tadi memainkan piano itu pun tersenyum. “Sudah ku duga, kau akan ke tempat ini.”

Seakan sadar dari tidurnya, Jirae langsung menoleh ke sisi samping. “Min-ah,”

“Coba sebut lagi namaku,”

“Min-ah,”

“Ternyata nada itu tidak berubah dari dulu,” masih dengan posisi duduk bersisian di depan piano, Sungmin mengacak pelan rambut Jirae. “Apa kau tahu, aku rindu akan nada panggilanmu yang seperti itu.”

Hening.

“Min-ah, apa yang kau lakukan disini?”

Yak! Ini tempat umum, siapa saja boleh berkunjung ke sini.”

Mereka sama-sama menggunakan jas almamater. Jirae kembali menekan tuts piano di depannya dan memejamkan kedua bola matanya itu. Sedangkan Sungmin, ia tidak melepaskan pandangannya dari arah yeoja di sampingnya.

Tiba-tiba Sungmin teringat akan tujuan awalnya. Ia merogoh sakunya, “Ini, ku berikan untukmu.”

Merasa dirinya di ajak bicara, ia membuka kedua matanya dan menghentikan aktivitas jari-jarinya di atas tuts piano. Segenggam tangan menyerahkan sebuah kancing berwarna putih. Jirae tertegun menatap kancing itu. Kemudian ia melayangkan tatapannya ke jas almamater yang di kenakan oleh Sungmin, dan mendapatkan kancing nomor dua tidak terdapat disana. “Kau—”

“Mianhae, aku baru dapat memberikan kancing ini padamu.”

Jirae mengambil kancing tersebut. Tergambar jelas cetakkan senyum lebar di kedua sudut bibirnya. “Min-ah, kau masih mengingatnya?”

“Shin Jirae-ya, aku bukan pria yang pandai dalam berkata-kata. Jadi, kau harus mau menerimaku sebagai namjachingu-mu. Aku tidak peduli apapun alasannya. Arra?” Sungmin mengeluarkan pout aegyo andalannya, yang beberapa tahun ini tidak dapat dilihat oleh Jirae.

Belum sempat Jirae menjawab, sebuah ciuman sudah mendarat di bibirnya.

Chu~ “Ini adalah first kiss untukku dan untukmu,”

Chu~ “Itu permintaan maafku karena sudah membiarkanmu menungguku tigabelas tahun sangat lama,”

Chu~ “Dan barusan adalah hukuman untukmu karena sudah mencuri first kiss-ku,” ketika Sungmin ingin mendekatkan wajahnya lagi…

Plak~Yak! Lee Sungmin, michoseo! Seenaknya kau bicara seperti itu. Kau yang telah mencuri first kiss-ku, bodoh!”

***

Tidak ada komentar: